[Fanfiction] I’m Stupid

Author             : Azzura
Main Cast        : Kwon Jiyong, Sandara Park
Other Cast       :Lee Seung Hyun (Lee Seung Ri) , Choi Seung Hyun
Genre              :Hurt Romance
Rating              : PG-13 (maybe)
A/N                  : Hi! FF pertama saya disini, kkk~. Gaje dan gak nyambung. Miahae TT^TT.

***

            “Aku tidak tahan lagi.” Aku tertenggun. Aku melihat Dara nuna melepaskan cincin pemberianku dan dan menaruhnya ditelapak tanganku. “Kau berubah.”

Aku mengangkat kepalaku. Menatap gadis itu dalam-dalam dan menggemgam tanganya. “Dara nuna, apa-“

“Kau berubah.” Ia menepis tanganku. “Hubungan kita sudah berakhir, Kwon Jiyong.”

Ia berbalik dan pergi. Aku bisa melihat ia mengusap wajahnya berkali-kali.

***

            Aku duduk diatas sofa dan membiarkan diriku dikelilingi oleh beberapa botol soju. Aku mengangkat botol soju itu dan membaukanya. Meminumnya seakan soju itu adalah air mineral.

Aku berusaha melupakan Dara nuna dan segala ingatanku denganya. Dasar bodoh, minuman ini tidak bisa mengubah apapun. Aku meringis dan air mataku keluar kembali.

Aku dikejutkan oleh Seung Ri yang datang tiba-tiba. Ia menghentikan aksiku yang sedang membuka botol soju kelimaku.

“Hyung sudah cukup. Kau mabuk!” Seung Ri menyingkirkan setumpukan botol sojuku kelantai. “Hyung pasti ada masalah.” Aku tertawa renyah.

“Aku baik-baik saja.” Ujarku. Seung Ri terlihat tidak percaya.

“Kau sedang bermasalah, hyung.” Seung Ri menepuk-nepuk punggungku. Aku muntah sekatika. “Kau butuh bantuanku hyung?”

“Aku butuh Sandara Park.”

Seung Ri terdiam. Ia menatap ku yang sedang tertawa tidak jelas dengan air mata yang terus keluar. “Apa yang terjadi denganmu dan Dara nuna?”

“Dia bilang, aku berubah.” Ujarku sambil terus tertawa.

Apa kau lihat aku tampamu Sandara Park?

***

            3 hari kemudian…

Aku berjalan cepat dijalan Insandong sambil mencari sebuah kafe yang dimaksud oleh Seung Ri. Ya, dia mengajakku untuk minum kopi bersama dikafe itu.

Aku melihat Seung Ri sedang mengotak-atik ponselnya didalam sebuah kafe. Aku pun masuk ke kafe itu dan duduk didepan Seung Ri. “Whassup, Ri?”

Eo, hyung.”ia memalingkan wajahnya dari ponselnya. Seorang pelayan mendekati kami. “Em, oke, hyung,kau minum apa? Aku ingin Vanila Latte.

blue mountain.” Jawabku pendek.  Pelayan itu mencatat pesanan kami lalu pergi. “ada apa ini? Tumben kau mengajakku minum kopi.”

“Sebenarnya, ada hal penting yang harus kuberitahu padamu.” Ujarnya tampak serius. Ia tampak ragu.

Aku mengangkat sebelah alisku. “Memang ada apa?”

“Dara nuna sudah mempunyai kekasih baru.”

Aku merasa ada sebuah gunung berapi yang meledak dibelakangku. Apa Dara nuna memutuskanku karena ia berpacaran karena dia orang lain. Tidak, mungkin. “Kau bercanda ‘kan, Ri? Ini tidak lucu!”

“Tatap wajahku, Hyung! Apa aku terlihat bercanda?” Tanya Seung Ri serius. Aku terdiam. Tidak, Seung Ri tidak terlihat bercanda.

Seorang pelayan mengantarkan pesanan kami. Seung Ri tersenyum dan mengatakan terima kasih. Tidak sepertiku yang hanya terdiam dan memegangi kepalaku. Seung Ri mendorong Blue Mountainku.

“Tenangkan dirimu, Hyung. Minumlah dulu.” Ujar Seung Ri. “Aku tahu kau memang SANGAT mencintai Dara nuna, aku mengerti kalau kau memang tidak bisa menerima keadaan ini.”

“Kau tidak mengerti apapun.” Ujarku lalu meminum kopiku dengan tatapan kosong. “Darimana kau tahu Dara nuna punya namjachingu baru?”

“Dara nuna sendiri yang bilang.”

Dara nuna hanya memberitahu Seung Ri, ia tidak memberitahuku.

“Hyung, lihat ke jendela.” Desis Seung Ri. Aku segera memalingkan wajahku ke arah jendela. Mataku membesar. Dad’aku terasa panas. Dara nuna dan seorang namja terlihat keluar dari sebuah butik. Wajah Dara nuna manis sekali. Ia sempat menatapku dan menunjukan senyum manisnya. Tidak,lebih tepatnya senyum sinis.

Aku hanya bisa diam ketika Dara nuna memeluk tangan namja iyu lebih erat.

***

            Aku terduduk di meja makan rumahku dan menggenggam ponselku dengan erat. Aku membuka galery dan melihat-lihat foto Dara nuna. Seketika mataku terasa panas. Tidak, seorang namja tidak boleh menangis.

Aku membuka Contacs dan mencari nomor Dara nuna. Tampa sadar tanganku memencet tombol hijau. Aku mendekatkanponselku ditelingaku.

Ya, aku menelpon Dara nuna. Walaupun aku tahu ini adalah ide buruk. Dia takan mengangkat telepon dariku.

“Yeoboseyo?” Diluar dugaan, ia mengangkat telepon dariku. Aku merasa jantungku berdetak lebh cepat.

“Nuna, ini aku Ji-“

“Oh, kau Jiyong. Ada apa?” Tanya Dara nuna dingin. Aku menahan naasku.

“Kau… punya namjachingu baru?” Tanyaku dengan suara bergetar. Tidak hanya suaraku. Tanganku pun ikut bergetar.

Bukankah Seung Ri sudah memberitahumu?” Aku terdiam. “Ya, aku memang sudah punya namjachingu baru.”

“Wae?!” Aku tidak bisa mengontrol emosiku. Tak tahu kenapa, emosiku meledak begitu saja.

Apa pedulimu? Hubungan kita sudah berakhir.”

            DEG

“Aku memutuskanmu karena kau terlalu sibuk. Kau bilang aku adalah nomor satu! Aku kesepian!” Ujarnya dengan nada tinggi, aku bisa mendengar suara isakan. Hubungan telepon pun putus begitu saja.

Aku berusaha menelpon Dara nuna berkali-kali. Tapi, ia tidak menjawab teleponku. Aku merasa sakit, kadang cinta memang menyakitkan.

Oh, begitukah? Aku terlalu sibuk?

Kalau dipikir-pikir, itu benar. Karena aku memenang bekerja di sebuah perusahaan, aku memang terlalu fokus sehingga aku melupakan Dara nuna. Aku memang bodoh.

***

            Flashback

            “Kau bisa menemuiku?” Tanya Dara nuna lewat telepon. Aku mendesah dan menatap jam tanganku.

“Jiyong-ssi, jangan lupa, hari ini ada meeting.” Rekan kerja ku lewat. Aku tersenyum padanya.

Ji? Kau bisa mendengarku?” Tanya Dara nuna.

Mianhae, nuna. Aku tidak bisa, aku ada meeting.” Jelasku dengan nada bersalah. “Mungkin lain kali, mianhae, nuna.”

Ne, tak apa.” Ujar Dara nuna. Walaupun begitu, aku tetap tidak tenang.

Jinjjayo? Kau tak apa?” Tanyaku. Aku menatap jam. Lima menit lagi aku harus pergi keruang meeting.

Ne, gwechanhayo.” Ujarnya. Aku tersenyum..

“Baiklah nuna, aku harus pergi sekarang. Anyeong.”

“Anyeong.”

Esoknya.

“Kau ingin bertemu? Aku tidak bisa. Hari ini aku kerja lembur.”Jelasku dengan nada bersalah. Dari telepon, aku bisa mendengar helaan Dara nuna.

Namjaku memang sibuk” Perkataan Dara nuna membuat perasaanku tidak enak. “Ne, tak apa. Aku mengerti,aku selalu mendukungmu, Jiyong.”

“Baiklah, kalau begitu. Bagaimana dengan hari Jum’at malam?” Tanyaku. Minimal aku bisa menemuinya. “Ditaman biasa.”

Ne, kutemui kau disana hari Jum’at. Anyeong.”

Flashback end

***

            Mengingat semuanya, kepalaku menjadi sakit. Sangat sakit. Bagaimanpun aku merasa sangat bersalah. Aku memang sibuk? Ya, kau benar sekali Dara nuna. Penyesalan tiba-tiba saja menumpuk di hati kecilku.

***

            “Selamat malam, Jiyong-ssi.”

“Ne.”

Aku menuruni tangga dan meninggalkan kantorku. Ya, ini waktunya aku pulang dari pekerjaanku yang melelahkan. Aku berjalan kaki menelusuri jalanan sambil bersiul-siul. Dan siulanku berhenti ketika aku melihat.

Dara nuna.

Aku ingin berlari dan memeluknya dari belakang. Tapi entah kenapa, tubuhku membeku. Sudah lama sekali aku tidak menyentuh tubuhnya.

Dara nuna nampak sedang menunggu lampu lalulintas berubah menjadi merah. Diam-diam aku mendekatinya. Seketika lampu berubah menjadi kuning, lalu hijau. Dara nuna melangkahkan kakinya. Dari ujung jalan, aku bisa melihat mobil yang berjalan ugal-ugalan. Sudah jelas mobil itu akan menabrak Dara nuna.

Aku berlari dan mendorong tubuh Dara nuna sehingga ia terjatuh di trotoar. Sudah jelas. Mobil itu menabrak tubuhku dan kabur begitu saja.

Entah keajaiban apa yang menimpaku, aku masih bernafas.Walaupun kutahu tidak akan lama. Aku bisa mencium bau amis darah. Aku juga bisa mendengar suara dentuman sepatu hak dengan aspal.

“Jiyong! Astaga, Jiyong!”

Aku membuka mataku. Aku bisa melihat Dara nuna memeluku. Air matanya jatuh membasahi pundakku. Aku mendorong tubuhnya pelan sehingga ia melepaskan pelukanya. “Nuna, aku tidak tahan lagi.”

“Jangan katakan itu! Kau masih bisa bertahan! Aku akan menelpon ambulan!” Teriaknya panik. Ia mengeluarkan ponselnya. Dengan susah payah aku mengangkat tanganku dan menyentuh pipinya.

“Tak apa. Setidaknya aku bisa melihat wajahmu untuk terakhir kalinya.” Ujarku sambil tersenyum. Tangisa Dara nuna terdengar makin keras.

“Jiyong, maafkan aku. Aku-“

“Aniyo, kau tidak salah. Aku yang salah, aku selalu mengabaikanmu.” Ujarku lirih. “Saranghae, Dara…”

Aku tersenyum dan menutup mataku. Aku menghembuskan nafas terakhirku.

Walaupun aku sudah mati, aku tetap mencintaimu. Sandara Park.

***

Anyeonhaseyo, Sandara Park.

Aku tidak tahu kenapa aku menulis ini. Mungkin suatu saat aku akan memberikan surat ini padamu. Tapi siapa tahu? Mungkin kau tidak akan membacanya.

Aku hanya menulis apa yang kupikirkan, itu saja.

aku hanya ingin mengatakan ini.

Mianhae, Dara nuna. Aku memang bodoh.

Mengabaikanmu adalah sebuah kesalahan besar bagiku.

Aku akan memperilakukanmu lebih baik. Apa kau masih menerimaku?

Aku akan lebih sering menghabiskan waktuku bersamamu. Apa kau akan kembali padaku?

Sebenarnya, aku tidak mengharapkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ darimu. Aku hanya ingin kau mengatakan.

Kau menyintaiku.

Kenapa? Karena aku mencintaimu.

selamat, sekarang kau sudah dimiliki oleh pria lain. Aku turut senang. Kesenanganmu adalah kesenanganku juga. Walaupun perasaan cemburu selalu datang padaku.

Kuharap pria itu tidak akan pernah membuatmu menangis sepertiku. Kuharap pria itu lebih baik dariku.

Mungkin aku tidak pantas untuk mengatakan ini, tapi…

Aku mencintaimu.

 

-Kwon Jiyong

            Dara meremas kertas itu sehinga kertas itu agak terkoyak. Dadanya terasa sakit. Ia menangis didepan sebuah makam. Ya, makam Kwon Jiyong.

Ia membuka dompetnya dan mengeluarkan sebuah foto. Fotonya dan Jiyong. Jiyong tersenyum lebar ia merangkul Dara dan tanganya membentuk tanda ‘V’. Dara membalikan foto itu, tertulis ‘Aku dan Kwon Jiyong di Lotte World. 12 November 2013 .

Melihat Jiyong yang tersenyum membuat air matanya kembali mengalir. Ia berlutut dan menaruh sebuket bunga didepan foto Jiyong yang sudah dipingkai rapi. “Saranghae Kwon Jiyong.”

Dara berdiri dan mengusap matanya. Ia berbalik dan pergi.

Dari pohon, nampaklah seorang namja berjas dan bercelana putih. Ia menatap makam itu dan menatap kepergian Dara. Ia turun dan mengambil sebuket bunga itu. I

“Aku tahu kau masih mencintaiku Sandara Park.”

Pria itu menggenggam bunga itu. Dan tersenyum. “Ini kenang-kenangan, aku harus membawanya ‘kesana’.”

Tubuhnya mulai hilang seperti serbuk yang ditiup angin.

-THE END-